Terlalu Gegabah ke Luar Negeri, Pemain Jepang Disebut Rawan Gagal: Mimpi Eropa Tak Selalu Indah

Sepak bola Jepang dalam satu dekade terakhir terus menunjukkan perkembangan yang signifikan. Generasi muda Negeri Sakura semakin berani melangkah ke luar negeri, mengejar mimpi berkarier di Eropa. Namun, di balik kisah sukses pemain-pemain seperti Takefusa Kubo atau Kaoru Mitoma, terselip pula cerita-cerita kegagalan yang menjadi peringatan: terlalu gegabah menyeberang ke Eropa bisa jadi bumerang.

Euforia yang Belum Tentu Sejalan dengan Kesiapan

Di usia muda, banyak pemain Jepang yang memutuskan untuk hijrah ke Eropa hanya berbekal status “wonderkid” di J.League. Agen, klub, bahkan media sering kali ikut mendorong langkah tersebut, menciptakan euforia nasional bahwa setiap pemain muda potensial harus ke luar negeri agar berkembang. Namun realitasnya, tidak semua pemain siap secara mental, fisik, dan taktis.

Sebagai contoh, beberapa nama yang sempat digadang-gadang sebagai bintang masa depan—seperti Ritsu Doan dan Yuki Kobayashi—pernah mengalami periode sulit setelah kepindahan awal mereka ke klub-klub Eropa. Kurangnya jam bermain, tekanan adaptasi budaya, hingga komunikasi yang tidak lancar menjadi hambatan besar yang menghambat perkembangan mereka.

Pelatih dan Pengamat Angkat Bicara

Takeshi Okada, mantan pelatih timnas Jepang yang membawa Samurai Biru ke babak 16 besar Piala Dunia 2010, menyampaikan keprihatinannya terhadap tren ini. Dalam sebuah wawancara baru-baru ini, ia mengatakan, “Bermain di Eropa memang penting, tetapi waktunya harus tepat. Banyak pemain kita terlalu muda dan belum matang ketika pergi, akhirnya hanya duduk di bangku cadangan atau bahkan tersingkir dari skuad.”

Sementara itu, analis sepak bola Asia, Dan Orlowitz, menyebut bahwa beberapa pemain Jepang terlalu cepat terbuai tawaran dari klub-klub Eropa menengah atau kecil, yang belum tentu bisa memberikan perkembangan optimal. “Bermain di J.League satu atau dua musim lebih lama untuk membangun fondasi sebenarnya akan lebih bermanfaat bagi sebagian besar pemain,” jelasnya.

Realita Persaingan dan Perbedaan Gaya Bermain

Eropa bukan tanah impian yang ramah untuk semua pemain Asia. Persaingan sangat ketat dan tuntutan fisik jauh lebih tinggi dibandingkan di Jepang. Tak jarang pemain yang terbiasa dengan gaya bermain kolektif dan terstruktur di Jepang menjadi kesulitan menyesuaikan diri dengan permainan agresif dan lebih individualistik di beberapa liga Eropa.

Selain itu, pemain Jepang kerap menghadapi stereotip tertentu—bahwa mereka disiplin, cepat, tetapi tidak cukup kuat atau tangguh dalam duel fisik. Tanpa pembuktian cepat, banyak dari mereka langsung kehilangan tempat, terutama di klub-klub yang fokus pada hasil instan.

Belajar dari Kisah Sukses dan Gagal

Meski banyak tantangan, tidak sedikit pula pemain Jepang yang berhasil menjawab keraguan. Kaoru Mitoma misalnya, memilih menyelesaikan kuliah dan matang di Kawasaki Frontale sebelum akhirnya tampil brilian di Premier League bersama Brighton. Keputusan yang dianggap “terlambat” itu justru membuatnya lebih siap saat menjalani debut di Eropa.

Kisah seperti inilah yang kini banyak dijadikan refleksi. Bahwa keputusan untuk bermain di luar negeri bukan soal siapa yang paling cepat, tetapi siapa yang paling siap. Mimpi ke Eropa bukan sesuatu yang harus ditolak, tapi perlu perencanaan matang, bukan semata mengejar status atau ekspektasi publik.